Selamat Datang di Media Online Ibnu Mas'ud...............Pemilik Media Online ini adalah H. Muh. Chaeruddin, Penyuluh Agama Islam Fungsional Kecamatan Depok Kabupaten Sleman...............Silakan Isi Buku Tamu terlebih Dahulu dan Tinggalkanlah Pesan Anda.............Terimakasih atas Kunjungan Anda, Semoga Bermanfaat, Amien.

Rabu, 08 September 2010

MENUJU TERCAPAINYA HAJI MABRUR (Bekal untuk Calon Jama'ah Haji)

Disajikan oleh : H. Muh Chaeruddin Ibnu Mas’ud

A. PENDAHULUAN

Melaksanakan ibadah haji merupakan merupakan salah satu dari rukun Islam yang harus dilaksanakan oleh umat Islam yang diperintahkan oleh Allah SWT. kepada setiap muslim, sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah SWT.
وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجَّ يَأْتُوْكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِيْنَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيْقٍ
”Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kami dan mengendarai unta yang kurus.” (QS.Al-Hajj ; 27)
Setiap orang yang melaksanakan ibadah haji pasti mempunyai keinginan yang sama yakni tercapai haji mabrur. Haji mabrur adalah ibadah haji yang dilaksanakan dengan memenuhi beberapa ketentuan syar’i yaitu :
1. Dilandasi niat yang ikhlas yang didasari oleh tiga hal pokok yakni :
 Pemenuhan kewajiban kepada Allah SWT. (ikhlasnya para ahli ibadah)
 Mengharapkan ridha Allah SWT. (ikhlasnya para Muhibbin)
 Memperoleh karunia tambahan dari Allah SWT. karena kamampuannya mensyukuri nikmat Allah (ikhlasnya para ’Arifin/orang yang ma’rifat kepada Allah)
2. Pelaksanaannya SHAHIH (benar dan tidak cacat)
Seluruh rangkaian manasik (upacara ritual keagamaan dalam ibadah haji yang meliputi syarat, rukun, wajib dan sunnah haji dilaksanakan dengan baik dan benar serta diimbangi oleh kemampuan meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh orang yang sedang melaksanakan ibadah haji dan umrah baik ketika sedang berpakaian ihram maupun ketika tidak berpakain ihram)
3. Yang melaksanakan SHALIH (layak dan pantas)
Pada saat sedang melaksanakan ibadah haji dan umrah tersebut sikap, prilaku dan ucapan dari jama’ah haji tersebut adalah layak dan pantas untuk mendapatkan predikat haji mabrur, karena itulah maka orang yang sedang melaksanakan ibadah haji tidak boleh RAFATS, FUSUQ dan JIDAL. Disamping itu orang yang sedang melaksanakan ibadah haji dan umrah harus memiliki ruh dari serangkaian amalan yang sedang dilaksanakannya. Untuk memahami ruh ibadah haji maka semua jama’ah haji harus memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang :
 Pengaruh ibadah haji dalam kehidupan manusia
 Makna simbolik ibadah haji

B. PENGARUH IBADAH HAJI DALAM KEHIDUPAN
Sebagaimana ibadah-ibadah lain, menunaikan haji adalah dalam rangka menuruti perintah Allah Azza Wa Jalla dan memenuhi hak-hakNya. Dan ternyata, Tidak dapat diingkari bahwa dibalik ibadah-ibadah itu terdapat pengaruh pengaruh positif dan beberapa kemanfaatan, baik bagi individu maupun masyarakat luas.
Ibadah haji, disamping banyak mengandung unsur ”ubudiyah” yang tidak dapat dijumpai secara detail dan pasti pada ibadah yang lain, juga merupakan ibadah paling nampak pengaruh positifnya dalam kehidupan kaum muslimin. Dalam hal ini Allah Azza Wa Jalla telah berfirman :
..... لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ ....
.........”Supaya mereka mempersaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mnyebut asma Allah.”.......... (Al-Hajj; 28)
Suatu argumentasi Qur’ani tentang disyareatkannya ’rihlah mubarakah’ yang ditempuh kaum muslimin dengan berjalan kaki dari berbagai penjuru dunia, jelas-jelas akan membuka lebar pemahaman bagi kaum muslimin, untuk merenungi berbagai macam manfaat yang dapat dialami dan disaksikan dengan jelas, sebagaimana yang disebut oleh ayat tersebut diatas.
Ibadah haji merupakan ’santapan rohani besar’ yang dapat membekali setiap muslim. Santapan yang dapat memenuhi jiwa raganya dengan khosyyah, taqwallah, kemauan yang kuat untuk selalu memenuhi perintah-perintahNya, serta perasaan menyesal ketika berbuat durhaka kepada-Nya. Santapan yang memenuhi ruhnya dengan mahabbah kepada Rasul utusan-Nya. Dan kepada siapa saja yang membela, membantu, dan mengagungkan, serta mengikuti cahaya yang telah diturunkan kepadanya. Santapan yang dapat membangkitkan jiwanya untuk memeperkokoh tali persaudaraan dengan pemeluk agama yang diajarkannya dipelbagi tempat. Dan yang dapat menyalakan api kesemangatan dan obor keantusiasan terhadap agama yang dipeluknya.
Kenyataan telah membuktikan bahwa ”bumi suci” dan tugu-tugu peringatan yang ada padanya, tanda-tanda kebesaran haji, kekuatan jemaah, dan kekuatan pikiran, serta perilaku yang ada padanya, semua itu jelas memberi pengaruh sangat positif, dalam lubuk hati seorang muslim. Sehingga dia kembali dari perjalanannya dalam keadaan yang lebih bersih sanubarinya, dan lebih suci perilakunya, disamping juga lebih kuat semangatnya terhadap segala kebajikan dan lebih kokoh benteng pertahanannya menghadapi segala tipu daya kejahatan setan yang menyesatkan.
Santapan rohani akbar ini akan mampu merubah keadaan jiwa seorang muslim secara total dalam kehidupan keseharian. Bahkan akan mampu membentuk etika baru dalam dirinya dan dapat mengembalikan jiwa seseorang seperti keadaanya sewaktu dia dilahirkan dari kandungan ibunya.
Rasulullah SAW telah bersabda :
من حج البيت فلم يرفث ولم يفسق رجع من ذنوبه كيوم ولدته امه
”Barang siapa mngerjakan haji, lalu tidak berkata keji, dan tidak berbuat fasik, maka ia kembali ketanah airnya dalam keadaan bersih dari segala. Seperti ketika ia lahir kandungan ibunya.” (HR. Bukhori, Ahmad, dan Nasai)
Selanjutnya ibadah haji merupakan latihan praktis bagi seorang muslim untuk merealisasikan prinsip-prinsip insaniyah yang luhur, yang dibawa oleh Islam. Sebagaimana telah dimaklumi bersama, bahwa Islam menghendaki agar prinsip-prinsip dan nilai-nilai sosial kemasyarakatannya, tidak hanya menjadi sekedar perlambang atau seruan-seruan saja tanpa realisasi. Itulah sebabnya dalam ibadah haji dapat dilihat makna persatuan, persamaan dan perdamaian.
Pada zaman jahiliyyah orang-orang arab menjadikan musim haji sebagai arena ”tafakkur” (persaingan) dan saling membanggakan kekuatan dan nenek moyangnya. Karena itu pada suatu kesempatan , dihari-hari tasyrik... Rasulullah SAW berdiri berpidato dihadapan khalayak ramai dan memproklamirkan kepada mereka perihal prinsip-prinsip Islam yang bersifat Internasional
اَيُّهَا النَّاسُ اِنَّ رَبَّكُمْ وَاِحِدٌ وَاِنَّ اَبَاكُمْ وَاحِدٌ. اَلاَ لاَفَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى اَعْجَمِيٍّ وَلاَ لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِِيٍّ وَلاَ ِلأَحْمَرَ عَلَى اَسْوَدَ وَلاَ ِلأَسْوَدَ عَلَى اَحْمَرَ اِلاَّ بِالتَّقْوَى
”Hai manusia ketahuilah tuhanmu itu satu. Bapakmu juga satu. Ingatlah tiada kelebihan bagi bangsa arab atas bangsa asing dan sebaliknya. Dan tiada pula kelebihan bagi yang berkulit merah atas yang berkulit hitam, dan demikian pula sebaliknya. Kecuali diukur dengan kualitas ketakwaannya.”
Memang dari dalam ibadah haji dapat dilihat makna persatuan dengan jelas, sejelas matahari disiang bolong. Persatuan dalam perasaan, perbuatan dan ucapan. Tiada sistem perbedaaan daerah atau suku. Tiada pula sistem fanatik golongan, warna kulit atau kasta. Mereka semua adalah MUSLIMUN. Kepada satu Tuhan mereka menyembah, disekeliling rumah suci (Ka’bah) mereka berkeliling, dengan satu kitab suci (Alqur-an) mereka berpegang teguh dan membaca, kepada satu utusan (Nabi Muhammad SAW) mereka mengikuti. Dan terhadap amaliyah tunggal mereka menunaikan. Adakah persatuan yang lebih dalam lagi daripada nilai yang terkandung dalam ibadah haji itu?
Diantara prinsip luhur yang dikumandangkan Islam adalah ASSALAM (perdamaian). Haji merupakan metode praktis untuk melatih seorang muslim tentang perdamaian. Sebab tidak diragukan lagi bahwa ibadah haji adalah suatu perjalanan damai menuju ketempat yang damai dan dilaksanakan dalam waktu yang damai dan di tempat yang menjanjikan kedamaian pula.
Tanah suci tempat dimana ibadah haji dilaksanakan, sungguh merupakan daerah aman yang tiada bandingnya. Meliputi burung di udara, binatang di daratan, dan segala tumbuhan di permukaan bumi. Di daerah ini tidak boleh ditangkap hewannya. Tidak boleh diganggu burung –burungnya. Bahkan tidak pula dipotong pohon dan rumput-rumputnya. Ditambah lagi bahwa sebagian besar amaliyah haji yang dilakukan berada dalam bulan Dzul Qa’dah dan Dzul Hijjah. Dua bulan ini termasuk dalam kategori ”AS SYAHRUL HURUM” yang telah dijadikan Allah sebagai masa perdamaian. Masa dimana pedang harus dimasukkan ke dalam sarungnya. Darah ditahan, tidak dialirkan. Dan pertempuran harus dihentikan.
Allah Azza Wa Jalla telah berfirman :
جَعَلَ اللّهُ الْكَعْبَةَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ قِيَاماً لِّلنَّاسِ وَالشَّهْرَ الْحَرَامَ وَالْهَدْيَ وَالْقَلاَئِدَ ذَلِكَ لِتَعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ وَأَنَّ اللّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
” Allah telah menjadikan Ka`bah, rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia, dan (demikian pula) bulan Haram, had-ya, qalaid. (Allah menjadikan yang) demikian itu agar kamu tahu, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” Q.S. Al Maidah : 97.
Seorang muslim dikala sedang berikhram haji, jelas ia sedang berada dalam naungan perdamaian yang hakiki. Damai dengan orang lain di sekelilingnya dan makhluk-makhluk lain di sekitarnya. Dia dilarang memotong tumbuh-tumbuhan atau menegor pohon-pohonan. Dilarang pula menyembelih binatang, hasil tangkapan orang lain atau tangkapan sendiri, baik di tempat ihram, atau di luarnya. Bahkan lebih dari itu, seorang muslim yang sedang ihram, dilarang pula menyukur rambut atau menggunting kukunya sendiri, sebelum ia bertahalul.
Bayangkan! Pernahkah dunia ini menyaksikan praktek perdamaian seperti yang diciptakan oleh Islam dalam ibadah haji? ”rihlatussalam, ila ardlissalam, fi zamanissalam.” (Perjalanan damai ke tanah damai, dan pada waktu yang damai pula).
Sungguh konferensi alam Islami ini memiliki banyak makna, hikmah dan isyarat. Antara lain dapat membangkitkan cita-cita luhur dalam jiwa seorang muslim. Menolak segala sesuatu yang dapat menimbulkan ya’s (putus asa). Menyalakan kesemangatan. Dapat menajamkan azam. Dapat menciptakan keabadian iman. Dan dapat pula membangkitkan kembali kemauan yang sebelumnya telah pudar. Ingatlah! Srigala itu mangsanya adalah kambing yang melarikan diri dari rekan-rekannya. Maka syetanpun mangsanya adalah orang yang melarikan dari jama’ah Ittihadul Muslimin
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika pada tahun-tahun silam, ada seorang misionaris kristen yang memiliki kepedulian terhadap kemurnian ajaran Islam, yang menulis berdasarkan pengamatannya, mengenai sejauh mana pengaruh kristenisasi di negara-negara Islam. Dia menulis antara lain sebagai berikut : ”Islam akan menjadi batu raksasa, yang akan menumbangkan kapal-kapal kristenisasi, selama agama ini masih memiliki empat tiang. Yaitu Al Qur’an .... Jami’ Al Asyhar...... Kumpulan Mingguan (shalat jum’ah)....... dan konferensi tahunan ini (haji).”
Empat tiang ini akan tetap abadi dengan izin Allah SWT. selama masih ada manusia diatas permukaan bumi yang masih istiqamah terhadap empat hal di atas. Berkaitan dengan ibadah haji maka perlu untuk dikeetahui hikmah ibadah haji, karena orang yang mengerjakan ibadah apapun – termasuk di dalamnya ibadah haji – tentu mengharapkan semua amalannya tidak sia-sia, ”jangan jauh-jauh panjang gagang”, biaya yang dikeluarkan besar, keluarga ditinggalkan, kewajiban mencari nafkah pun diabaikan, tapi ibadah haji tidak mendapatkan apa-apa. Ini namanya rugi dunia dan akhirat.

C. MAKNA SIMBOLIK IBADAH HAJI
1. Bila dicermati, ternyata ibadah haji itu penuh dengan makna simbolik dan mengandung arti bahwa manusia harus bersih lahir batin dan berserah diri kepada Rabbul ‘Alamin, antara lain ketika ihram di Miqat, mereka sengaja (niat) beribadah haji dan mengganti pakaian biasa dengan pakaian khusus ihram. Dalam hal ini – di samping sebagai tuntutan kewajiban syar’i – ternyata tersimpan makna yang dalam, bahwa manusia baik yang berangkat haji maupun yang ditinggalkan, jika akan menghadap Allah SWT. harus segera mengganti pakaian yang kotor dengan pakaian yang bersih, pakaian maksiat segera diganti dengan pakaian taat.
2. Ketika mengganti pakaian ihram, tidak dilakukan di alam terbuka dan harus di tempat tersembunyi agar tidak terlihat aurat. Artinya, manusia pun tidak lepas dari tuntutan moral bahwa segala amal kebajikan itu harus dilakukan dengan cara tersembunyi, tertutup dari sikap riya’, tidak ingin mendapat pujian dari manusia. Sifat munafik dan lain-lain diganti dengan keikhlasan dan kejujuran, keburukan diganti dengan kebaikan.
Allah SWT menjelaskan dalam firman-Nya :
..... إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّـيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ
“… sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (Q.S. Huud : 114)
3. Ketika thawaf, mengelilingi Ka’bah, atau ketika sa’i, lari-lari kecil dari Shafa ke Marwa, mengandung arti bahwa manusia tidak sungkan (dinamis) mencari dan mengharapkan rahmat Allah. Berlari memburu rida-Nya karena punya rasa takut akan siksa-Nya. Makna simbolik lainnya dari thawaf adalah bahwa sebagai muslim harus mempunyai komitmen untuk tetap menegakkan, memelihara dan menyempurnakan shalatnya
Gerakan thawaf bertentangan dengan arah jarum jam itu mempunyai arti bahwa manusia menjalani hidup dan kehidupan harus memili kesadaran bahwa semakin tua usianya sesungguhnya semakin dekat dengan batas akhir kehidupannya. Oleh karena itu manusia harus selalu berusaha untuk istiqamah dalam beribadah kepada Allah karena ajal bisa datang dengan tiba-tiba tanpa pemberitahuan sebelumnya.
4. Ketika wukuf di Arafah, berarti manusia harus ma’rifah akan kebesaran Allah, melihat dunia yang amat luas lengkap dengan segala isinya. Betapa manusia tampak hina, lemah, dan tiada berdaya di hadapan Allah Yang Maha Agung. mereka memandang kemah-kemah yang bermunculan bagaikan perumahan baru, dihuni oleh manusia dari berbagai bangsa. Di situ tiada perbedaan antara manusia yang satu dengan lainnya.
Manusia dari berbagai penjuru dunia berkumpul di situ, tiada permusuhan, tiada pertengkaran, dan tiada dendam. Yang ada hanya kedamaian dan persaudaraan. Manusia dipertahankan untuk bersatu dan berpegang pada tali Allah, dan dilarang bercerai-berai.
Sebagaimana firman Allah SWT :
وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعاً وَلاَ تَفَرَّقُواْ
“Dan berpegangteguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai …” (Q.S. Ali Imran : 103)
Ketika para jama’ah haji sedang wukuf di Padang Arafah, mereka dibanggakan oleh Allah di hadapan para malaikat seraya Allah menyatakan: ”Kalian aku jadikan saksi bahwa hari ini Aku berkenan mengampuni dosa-dosa mereka walaupun mereka datang membawa dosa sebanyak bintang di langit dan pasir di pantai”
5. Ketika melempar jumrah, berarti kaum Muslimin diwajibkan melempar segala bentuk perbuatan setan yang tersembunyi, misalnya suka bermusuhan, saling caci, saling hina, dan saling merendahkan. Semua sifat itu harus dilempar (singkirkan).
Melempar jumrah merupakan lambang permusuhan abadi dengan setan laknatullah, dan juga dengan manusia yang di dalam dadanya bersembunyi setan (yang selalu menghalang-halangi gerak langkahnya membela dan menegakkan kebenaran) yang menyabot cahaya Ilahi di muka bumi.
6. Pemotongan rambut melambangkan bahwa manusia harus memotong dan menggunting segala dosanya, menggunting segala sifat yang tidak terpuji seperti riya, sombong, takabur, dan memotong sifat-sifat jelek lainnya.
7. Ketika menyembelih kurban atau dam, artinya manusia harus sanggup berkorban. Ia harus berani menyembelih urat nadi kekikirannya, berani memutuskan sifat tamak, rakus, dan ingin kenyang sendiri. Ia relakan sebagian hartanya untuk menolong mereka yang tidak punya. Ia berikan sebagian rezeki yang dianugerahkan Allah kepadanya kepada fakir dan miskin sebagai rasa syukur kepada-Nya. Ia sedekahkan sebagian kekayaan yang dimilikinya kepada saudara-saudaranya, kepada tetangganya yang hidup serba kekurangan.
8. Usai ibadah haji, manusia kembali ke kampung halamatnnya masing-masing. Kembali dengan pakaian serba putih, dililit sorban, dan ditutupi peci. Bukankah manusia pun harus melilitkan keimanan dan ketakwaan ke dalam dirinya, dan bukankah ia pun harus sanggup menutupi segala keburukan dengan kebaikan dan kemuliaan?

D. KESIMPULAN / PENUTUP
Haji mabrur marupakan satu proses yang memerlukan waktu yang panjang, tidak diperoleh hanya dalam waktu sesaat. Untuk mencapai haji mabrur harus diawali sejak awal mula ada keinginan untuk melaksanakan ibadah haji, kesungguhan dan kehati-hatian ketika ibadah sedang dilaksanakan serta aplikasi setelah jama’ah haji itu telah kembali ke kampung halamannya. Oleh karena itu setiap jama’ah haji harus memiliki kiat-kiat untuk melestarikan haji mabrurnya dengan cara yang telah diajarkan oleh Allah dan dicontohkan oleh Nabi Agung Muhammad SAW. Untuk mengetahui dengan jelas bagaimana cara melestarikan haji mabrur?, silahkan tunggu paparan berikutnya pada tulisan berikutnya pada alamat yang sama.

Sleman, 29 Ramadhan 1431 H. / 8 September 2010 M.
H. Muh Chaeruddin Ibnu Mas’ud

Tulisan Lain Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan berikan kritik dan saran! Terimakasih.